BUDIDAYA
SATWA HARAPAN
IUCN
(International Union For Conservation Of Nature)
International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources atau biasa disingkat
sebagai IUCN adalah sebuah organisasi international yang mengatur tentang
berbagai topik yang membahas tentang konservasi atau perlindungan sumber daya
alam dan hutan. IUCN secara rutin membuat kategori status konservasi yang
disebut sebagai IUCN Red List of Threatened Species (IUCN Red List) yang
merupakan daftar status kelangkaan untuk spesies yang terancam kepunahan.
Kriteria yang dibuat untuk mengevaluasi kelangkaan spesies ini juga sudah
diatur secara khusus dan telah dipercaya sebagai panduan yang memiliki pengaruh
terbesar dalam bidang konservasi.
Kategori
status konservasi dalam IUCN Red List atau istilah-istilah kepunahan yang
dirilis oleh IUCN tersebut dibagi menjadi sembilan kategori diantaranya:
1.
Extinc
( EX; Punah) adalah status
konservasi yang diberikan kepada spesies yang terbukti bahwa individu terakhir
sudah mati.
2.
Extinct
in the Wild (EW;
Punah Di Alam Liar) adalah
status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di
tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka.
3.
Critically
Endangered (CR;
Kritis) adalah
status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko
kepunahan di waktu dekat.
4.
Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status konservasi yang
diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar
yang tinggi pada waktu yang akan datang.
5.
Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang
diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar
pada waktu yang akan datang.
6.
Near
Threatened (NT;
Hampir Terancam) adalah
status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam
keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam
status terancam.
7.
Least
Concern (LC;
Berisiko Rendah) adalah
kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak
masuk ke dalam kategori manapun.
8.
Data
Deficient (DD;
Informasi Kurang),
Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang
memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi
dan status populasi.
9.
Not
Evaluated (NE;
Belum dievaluasi);
Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk
kriteria-kriteria di atas.
1.
Mentok Rimba (Cairina scutulata)
Mentok Rimba dikenal
juga sebagai Mentok Hutan, Serati, Bebek Hutan atau Angsa Hutan dan dalam
bahasa inggris dikenal sebagai White-winged Wood Duck. Spesies ini termasuk salah
satu burung air dari suku Anatidae (bebek). Bisa dikatakan sebagai jenis
bebek paling langka di dunia. Populasinya di seluruh dunia sangat langka, diperkirakan hanya
tersisa sekitar 1000 ekor. Sekitar 150 ekor terdapat di Taman Nasional Way
Kambas, salah satu habitat Mentok Hutan yang tersisa di Indonesia.
Karena hidupnya di lahan basah (air), maka pembangunan
listrik tenaga air dan polusi manusia menjadi ancaman terbesar bagi mereka.
Selain itu, penurunan polulasinya juga diakibatkan oleh kerusakan, degradasi,
dan gangguan habitatnya termasuk kehilangan koridor hutan di tepi sungai.
Polulasinya yang tinggal sedikit ini sangat beresiko terhadap kepunahan.
Habitat Mentok Rimba tersisa di Thailand, Kamboja,
Vietnam, Laos, Myanmar, Indonesia, India, dan Bangladesh dengan jumlah populasi
tidak mencapai 1000 ekor. Di Indonesia, semula Mentok Rimba ini dapat dijumpai
di Jawa dan Sumatera, namun kini bebek jenis ini telah punah di Jawa. Sedangkan di Sumatera
diperkirakan hanya bertahan di Taman Nasional Way Kambas dengan populasi
sekitar 150 ekor.
Jumlah populasi dan penyebarannya
menjadikan IUCN Redlist memasukkan
Mentok Hijau dalam kategori Endangered (EN
/ Genting) yang berarti terancam kepunahan. Akan
tetapi, mentok rimba memiliki potensi untuk dimanfaatkan daging serta telurnya.
Sebab jika dilihat dari postur tubuhnya mentok rimba tidak jauh berbeda dengan
mentok-mentok pada umumnya. Oleh sebab itu mentok rimba berpotensi untuk
dibudidayakan bahkan mungkin bisa diternakkan. Hal ini didukung oleh Permenhut
Nomor P.19/menhut-II/2005 tentang penangkaran tumbuhan dan satwa liar.
2.
Burung
Maleo
(Macrocephalon maleo)
Burung
Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan
berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain langka, burung ini ternyata
unik karena anti poligami. Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon
maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi ini juga merupakan burung yang
unik. Keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya
yang salah satunya adalah anti poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak
tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari
1990, Burung Maleo ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Populasi
terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar
alam Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu
ini, populasinya ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian
sedikit, burung unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo
dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini
didaftarkan dalam CITES Appendix I.
Populasi Maleo terancam oleh para
pencuri telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh
alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya yang
khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai
berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau
kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu,
Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
Potensi burung Maleo yang dapat
dimanfaatkan adalah daging dan telur sama halnya dengan jenis unggas lainnya.
Burung maleo dapat dibudidayakan sebagai upaya pemenuhan sumber protein hewani
di Indonesia. Adapun peraturan yang mendukung hal tersebut adalah Permenhut Nomor P.19/menhut-II/2005 tentang
penangkaran tumbuhan dan satwa liar, dimana kita diperbolehkan untuk melakukan
penangkaran burung Maleo, sehingga mungkin saja di masa yang akan datang burung
Maleo dapat dijadikan sumber protein. Hal ini sesuai dengan UU RI No.5. Pasal
28 pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan
kelangsungan potensi daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
liar.
3. Banteng
(Bos javanicus)
Banteng mempunyai habitat di daerah berhutan
lebat ataupun hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100
mdpl. Persebarannya mulai dari Kamboja, Indonesia (Jawa, Bali, dan Kalimantan),
Laos, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Di beberapa negara seperti Brunei
Darussalam, bangladesh, dan India, Banteng dinyatakan telah punah. Populasi
banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari 8.000 ekor. Bahkan
dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah (habitat) populasinya
jarang yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor. Di Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di
Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002),
80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil
juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng,
Pangandaran, Malang, dan Kediri. Lantaran populasinya yang semakin menurun,
sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status
konservasi “Endangered” (EN; Terancam Punah) oleh IUCN. Banteng
sampai saat ini belum terdaftar dalam CITES meskipun sejak 1996 telah diusulkan
untuk didaftar dalam CITES Apendiks I.
Potensi yang dapat dimanfaatkan dari banteng
adalah daging, kulit, tanduk, dan hasil sampingan lainnya. Hal ini disebabkan
karena banteng merupakan salah satu jenis hewan yang satu bangsa dengan
sapi-sapi yang kini umumnya diternakkan. Pembudidayaan Banteng didukung oleh
SK.15/BTN.Blr-1/2013 tentang pembentukkan unit pengelola program konservasi dan
breeding semi alami banteng (Bos
javanicus) di Taman Nasional. Selain itu pemanfaatan potensii-potensi yang
dimiliki banteng juga didukung oleh UU RI No.5 Pasal 36 yaitu pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan dalam bentuk pengkajian penelitian dan
pengembangan, penagkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran,
budidaya tanaman obat serta pemeliharaan untuk kesenangan.