Kamis, 16 November 2017

BUDIDAYA SATWA HARAPAN
IUCN (International Union For Conservation Of Nature)
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources atau biasa disingkat sebagai IUCN adalah sebuah organisasi international yang mengatur tentang berbagai topik yang membahas tentang konservasi atau perlindungan sumber daya alam dan hutan. IUCN secara rutin membuat kategori status konservasi yang disebut sebagai IUCN Red List of Threatened Species (IUCN Red List) yang merupakan daftar status kelangkaan untuk spesies yang terancam kepunahan. Kriteria yang dibuat untuk mengevaluasi kelangkaan spesies ini juga sudah diatur secara khusus dan telah dipercaya sebagai panduan yang memiliki pengaruh terbesar dalam bidang konservasi.
Kategori status konservasi dalam IUCN Red List atau istilah-istilah kepunahan yang dirilis oleh IUCN tersebut dibagi menjadi sembilan kategori diantaranya:
1.      Extinc ( EX; Punah) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang terbukti bahwa individu terakhir sudah mati.
2.      Extinct in the Wild (EW; Punah Di Alam Liar) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka.
3.      Critically Endangered (CR; Kritis) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat.
4.      Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang.
5.      Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang.
6.      Near Threatened (NT; Hampir Terancam) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke dalam status terancam.
7.      Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun.
8.      Data Deficient (DD; Informasi Kurang), Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi yang ada kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya berdasarkan distribusi dan status populasi.
9.      Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi); Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas.
1.      Mentok Rimba (Cairina scutulata) 




     Mentok Rimba dikenal juga sebagai Mentok Hutan, Serati, Bebek Hutan atau Angsa Hutan dan dalam bahasa inggris dikenal sebagai White-winged Wood Duck. Spesies ini termasuk salah satu burung air dari suku Anatidae (bebek). Bisa dikatakan sebagai jenis bebek paling langka di dunia. Populasinya di seluruh dunia sangat langka, diperkirakan hanya tersisa sekitar 1000 ekor. Sekitar 150 ekor terdapat di Taman Nasional Way Kambas, salah satu habitat Mentok Hutan yang tersisa di Indonesia.
Karena hidupnya di lahan basah (air), maka pembangunan listrik tenaga air dan polusi manusia menjadi ancaman terbesar bagi mereka. Selain itu, penurunan polulasinya juga diakibatkan oleh kerusakan, degradasi, dan gangguan habitatnya termasuk kehilangan koridor hutan di tepi sungai. Polulasinya yang tinggal sedikit ini sangat beresiko terhadap kepunahan.
Habitat Mentok Rimba tersisa di Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Indonesia, India, dan Bangladesh dengan jumlah populasi tidak mencapai 1000 ekor. Di Indonesia, semula Mentok Rimba ini dapat dijumpai di Jawa dan Sumatera, namun kini bebek jenis ini telah punah di Jawa. Sedangkan di Sumatera diperkirakan hanya bertahan di Taman Nasional Way Kambas dengan populasi sekitar 150 ekor.
            Jumlah populasi dan penyebarannya menjadikan IUCN Redlist memasukkan Mentok Hijau dalam kategori Endangered (EN / Genting) yang berarti terancam kepunahan. Akan tetapi, mentok rimba memiliki potensi untuk dimanfaatkan daging serta telurnya. Sebab jika dilihat dari postur tubuhnya mentok rimba tidak jauh berbeda dengan mentok-mentok pada umumnya. Oleh sebab itu mentok rimba berpotensi untuk dibudidayakan bahkan mungkin bisa diternakkan. Hal ini didukung oleh Permenhut Nomor P.19/menhut-II/2005 tentang penangkaran tumbuhan dan satwa liar.
2.                  Burung Maleo  (Macrocephalon maleo)

Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain langka, burung ini ternyata unik karena anti poligami. Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan dilindungi ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Populasi terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix I. 
Populasi Maleo terancam oleh para pencuri telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan dan biawak. Habitatnya yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir.
            Potensi burung Maleo yang dapat dimanfaatkan adalah daging dan telur sama halnya dengan jenis unggas lainnya. Burung maleo dapat dibudidayakan sebagai upaya pemenuhan sumber protein hewani di Indonesia. Adapun peraturan yang mendukung hal tersebut adalah Permenhut Nomor P.19/menhut-II/2005 tentang penangkaran tumbuhan dan satwa liar, dimana kita diperbolehkan untuk melakukan penangkaran burung Maleo, sehingga mungkin saja di masa yang akan datang burung Maleo dapat dijadikan sumber protein. Hal ini sesuai dengan UU RI No.5. Pasal 28 pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
3.                  Banteng (Bos javanicus)
         Banteng mempunyai habitat di daerah berhutan lebat ataupun hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl. Persebarannya mulai dari Kamboja, Indonesia (Jawa, Bali, dan Kalimantan), Laos, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Di beberapa negara seperti Brunei Darussalam, bangladesh, dan India, Banteng dinyatakan telah punah. Populasi banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari 8.000 ekor. Bahkan dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah (habitat) populasinya jarang yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor. Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002), 80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran, Malang, dan Kediri. Lantaran populasinya yang semakin menurun, sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi Endangered” (EN; Terancam Punah) oleh IUCN. Banteng sampai saat ini belum terdaftar dalam CITES meskipun sejak 1996 telah diusulkan untuk didaftar dalam CITES Apendiks I.
Potensi yang dapat dimanfaatkan dari banteng adalah daging, kulit, tanduk, dan hasil sampingan lainnya. Hal ini disebabkan karena banteng merupakan salah satu jenis hewan yang satu bangsa dengan sapi-sapi yang kini umumnya diternakkan. Pembudidayaan Banteng didukung oleh SK.15/BTN.Blr-1/2013 tentang pembentukkan unit pengelola program konservasi dan breeding semi alami banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional. Selain itu pemanfaatan potensii-potensi yang dimiliki banteng juga didukung oleh UU RI No.5 Pasal 36 yaitu pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan dalam bentuk pengkajian penelitian dan pengembangan, penagkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat serta pemeliharaan untuk kesenangan.






0 komentar:

Posting Komentar